300x250 AD TOP

Jumat, 19 Januari 2018

Tagged under: ,

Kepala Daerah Dalam Timbangan Syariah

Buletin Kaffah no. 24, 2 Jumadul Awal 1439 H – 19 Januari 2018 M

Islam adalah agama yang paripurna (QS al-Maidah [5]: 3). Tidak ada satu pun perkara  dalam kehidupan manusia kecuali ada aturan, hukum dan penyelesaiannya di dalam Islam (Lihat: QS an-Nahl [16]: 89).

Rasul saw. pun telah menjelaskan tuntunan, hukum dan solusi Islam atas berbagai perkara. Tentu semua itu bersumber dari wahyu-Nya. Karena itu Allah SWT memerintahkan kita untuk meneladani beliau:

﴿لَّقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيرًا﴾
Sungguh telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagi kalian yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) Hari Kiamat serta banyak mengingat Allah (TQS al-Ahzab [33]: 21).

Menurut Imam Syaukani dalam Fathu al-Qadîr, ayat ini bersifat umum/mencakup semua perkara. Karena itu setiap Mukmin hendaknya meneladani Rasul saw. itu dalam semua perkara baik terkait akidah, ibadah, akhlak, maupun politik, termasuk dalam hal kepemimpinan daerah.

Kriteria Kepala Daerah Menurut Rasulullah saw.

Rasul saw. adalah kepala Negara Islam di Madinah. Beliau banyak memilih dan mengangkat pemimpin atau kepala daerah. Beliau pun menjelaskan kriteria pemimpin/pejabat, termasuk tentu kepala daerah. Salah satunya, pemimpin dan pejabat harus dipilih berdasarkan kelayakan, kapasitas dan keamanahannya. Sabda beliau:

« إِذَا ضُيِّعَتِ الأَمَانَةُ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ » . قَالَ كَيْفَ إِضَاعَتُهَا قَالَ « إِذَا وُسِّدَ الأَمْرُ إِلَى غَيْرِ أَهْلِهِ فَانْتَظِرِ السَّاعَةَ »
“Jika amanah telah disia-siakan, tunggulah saat-saat kehancuran.” Seorang Arab baduwi berkata, “Bagaimana amanah itu disia-siakan?” Beliau bersabda, “Jika urusan diserahkan kepada selain ahlinya, tunggulah saat-saat kehancuran.” (HR al-Bukhari dan Ahmad).

Imam al-Munawi di dalam Faydh al-Qadîr menjelaskan, “Jika suatu urusan—yakni hukum/pemerintahan yang berkaitan dengan agama seperti Khilafah dan yang terkait baik kepemimpinan, peradilan, fatwa, pengajaran dan yang lainnya—dipercayakan kepada selain ahlinya, yaitu kepada orang yang tidak layak untuk posisi atau tugas itu.”

Rasul saw. memperingatkan, jika urusan itu dipercayakan kepada orang yang bukan ahlinya (tidak layak) maka akan terjadi kerusakan.  Itu berarti menyia-nyiakan amanah.

Jabatan hendaknya tidak diberikan kepada orang yang memintanya, berambisi apalagi terobsesi dengan jabatan itu. Abu Musa al-Asy’ari menuturkan, ketika ada orang meminta jabatan kepada Rasul saw., beliau menolaknya dan beliau menunjuk orang lain. Beliau bersabda ketika itu:

« إِنَّا وَاللَّهِ لاَ نُوَلِّى عَلَى هَذَا الْعَمَلِ أَحَدًا سَأَلَهُ وَلاَ أَحَدًا حَرَصَ عَلَيْهِ »
Demi Allah, kami tidak mengangkat atas tugas ini seorang pun yang memintanya dan tidak pula seorang pun yang berambisi terhadapnya  (HR Muslim dan Ibnu Hibban).

Peringatan Rasul saw. itu seharusnya benar-benar disadari oleh umat saat ini. Saat ini banyak orang berambisi menjadi kepala daerah. Lalu mereka dipilih sebagai calon kepala daerah bukan atas dasar keahlian, kelayakan dan keamanahan. Pertama-tama pemilihan mereka ditentukan oleh seberapa banyak uang atau modal yang mereka miliki untuk pencalonan. Pasalnya, dalam sistem politik demokrasi berbiaya tinggi saat ini, untuk menjadi pemimpin daerah, biaya yang dikeluarkan mencapai puluhan hingga ratusan miliar rupiah (bahkan bisa tembus 1 triliun rupiah untuk daerah tertentu). Dampaknya telah nyata dan dirasakan oleh masyarakat. Banyak pemimpin daerah dan pejabat akhirnya melakukan korupsi, memperdagangkan jabatan dan kebijakan dan berkolusi dengan para kapitalis. Sebaliknya, kepentingan dan kemaslahatan rakyat banyak sering terabaikan. Akhirnya, beban hidup rakyat pun makin berat dari hari ke hari.

Kepala Daerah Diangkat dan Diberhentikan oleh Kepala Negara

Sebagai kepala negara, Rasul saw. telah mencontohkan pengangkatan pemimpin daerah. Hal yang sama dilakukan oleh Khulafaur Rasyidin dan telah menjadi Ijmak Sahabat. Berdasarkan Sunnah Rasul saw. dan Sunnah Khulafaur Rasyidin, wali (gubernur) dan ‘âmil (setingkat bupati/walikota) ditunjuk dan diangkat oleh Rasul saw. sebagai kepala negara atau oleh khalifah sesudah beliau. Jadi, kepala daerah tidak dipilih baik langsung oleh rakyat atau oleh wakil mereka. 

Data para wali dan ‘âmil Rasul saw. itu di antaranya dihimpun oleh Ibnu Hazm dalam Jawâmi’ as-Sirah (hlm. 23-24); Muhammad bin Habib al-Baghdadi dalam Al-Mukhbir (hlm. 125-128); Ibnu al-Qayyim dalam Zâd al-Ma’âd; ‘Izzuddin bin Jamaah al-Katani dalam Al-Mukhtashar al-Kabîr; dan Abdu al-Hayyi al-Kattani dalam At-Taratib al-Idâriyah (1/240).

Pada masa Khulafaur Rasyidin, wali dan ‘âmil juga ditunjuk dan diangkat oleh Khalifah. Ini merupakan Ijmak Sahabat sebab seluruh sahabat mengetahuinya dan tidak ada seorang pun yang mengingkarinya.

Perlu diingat, hal mendasar dari kepemimpinan daerah bukan apakah pemimpin daerah itu dipilih rakyat atau tidak. Yang mendasar adalah pengaturan dan pemeliharaan berbagai urusan, kepentingan dan kemaslahatan rakyat benar-benar terwujud. Imam al-Mawardi, ulama mazhab Syafii, di dalam Al-Ahkâm as-Sulthâniyah  (hlm. 3) menyatakan, “Sungguh Allah Yang Mahatinggi kekuasaan-Nya menyuruh umat mengangkat pemimpin untuk menggantikan kenabian, melindungi agama dan mendelegasikan kepada dirinya as-siyâsah (pemeliharaan urusan umat) agar pengaturan itu bersumber dari agama yang masyru’, dan agar kalimat menyatu di atas pendapat yang diikuti. Karena itu Imamah (Khilafah) adalah pokok yang menjadi fondasi kokohnya pilar-pilar agama dan teraturnya kemaslahatan-kemaslahatan umat.”

Sebagaimana kepala daerah diangkat oleh kepala negara, maka pemberhentian mereka juga dilakukan oleh kepala negara. Para wali dan ‘âmil bisa diberhentikan baik karena ada sebab pelanggaran, penyimpangan, kezaliman, ketidakmampuan atau karena faktor lainnya. Bisa juga mereka diberhentikan tanpa sebab dan kesalahan tertentu. Rasul saw. pernah memberhentikan Muadz bin Jabal dari jabatan wali Yaman tanpa sebab. Khalifah Umar ra. juga pernah memberhentikan Ziyad bin Abi Sufyan tanpa sebab tertentu.

Dengan itu masyarakat dan pejabat akan paham bahwa jabatan kepala daerah adalah jabatan biasa dan pemangku jabatan itu bisa diberhentikan kapan saja. Dengan itu pula jabatan kepala daerah tidak akan diagungkan dan orang pun tidak akan berlomba-lomba mengejar jabatan tersebut.

Penduduk wilayah (propinsi) atau ‘umalah (kabupaten/kota) atau para wakil mereka di Majelis Wilayah atau Majelis Umat boleh menampakkan ketidakridhaan atau mengajukan syakwa (aduan) atas kepala daerah mereka. Semata-mata adanya ketidakridhaan atau syakwa itu, Khalifah harus memberhentikan mereka. Khalifah Umar bin Khathab ra. pernah memberhentikan Saad bin Abi Waqash semata-mata karena masyarakat mengadukan dirinya. Khalifah Umar berkata tentang itu, “Saya tidak memberhentikan dia karena tidak mampu atau karena pengkhianatan.” 

Ibnu Saad di dalam Ath-Thabaqât al-Kubrâ (iv/360-361) meriwayatkan dari Muhammad bin Umar: Rasulullah saw. pernah menulis surat kepada Al-‘Ala’ bin al-Hadhrami agar menghadap bersama 20 orang dari Abdul Qays.  Ia pun menghadap bersama 20 orang dari mereka yang dipimpin oleh Abdullah bin ‘Auf al-Asyaj. Al-‘Ala’ menunjuk pelaksana atas Bahrain al-Mundzir bin Sawa. Delegasi itu menngadukan Al-‘Ala’ bin al-Hadhrami. Lalu Rasulullah saw. pun memberhentikan dirinya dan mengangkat Aban bin Said bin al-‘Ash.  Beliau berkata kepada dia, “Mintalah nasihat kebaikan kepada Abdul Qays dan hormatilah para tokoh mereka.”

Dari sini diambil ketentuan, jika kebanyakan rakyat atau wakil mereka di Majelis Wilayah atau Majelis Umat menampakkan ketidakridhaan mereka atas wali atau ‘âmil di daerahnya, maka kepala negara/khalifah wajib memberhentikan dirinya dan mengangkat kepala daerah yang baru.

Beberapa Keuntungan

Karena kepala daerah diangkat dan diberhentikan oleh kepala negara maka: Pertama, pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah sangat efektif dan efisien, berbiaya sangat murah bahkan nyaris tanpa biaya. Problem politik biaya tinggi—sebagaimana dalam sistem demokrasi—dengan berbagai dampaknya tidak akan terjadi. Triliuan uang rakyat tidak akan tersedot untuk pemilihan kepala daerah dan bisa dialokasikan untuk kesejahteraan rakyat.

Kedua, akuntabilitas pemimpin daerah akan terjamin.  Pemimpin daerah bisa diberhentikan segera jika melakukan pelanggaran atau kezaliman, bahkan tanpa kesalahan sekalipun, termasuk demi penyegaran dan peningkatan kinerja. Program pemerintah akan berjalan efektif. Keterpaduan dan keharmonisan pemerintah pusat dan daerah bisa terwujud.

Ketiga, partisipasi rakyat akan tinggi dan kontrol terhadap pemimpin daerah akan mudah. Pada proses awal, rakyat dan wakil mereka bisa memberikan masukan terkait sosok pemimpin daerah yang mereka inginkan. Kepala negara (Khalifah) akan sangat terdorong memenuhi aspirasi itu.  Pasalnya, jika rakyat atau wakil mereka menampakkan ketidakridhaan atas pemimpin daerah, Khalifah harus memberhentikannya.  Partisipasi rakyat dalam mengontrol kepala daerah akan bangkit. 

Khatimah

Begitulah kepala daerah dalam timbangan syariah Islam. Ketika tuntunan Islam dalam pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah itu diterapkan, tentu dalam kerangka sistem pemerintahan Islam (yakni sistem Khilafah ‘ala minhâj an-nubuwwah), maka  kepentingan dan kemaslahatan rakyat akan terpelihara, cita-cita kesejahteraan dan kemakmuran akan bisa terwujud serta keberkahan akan digelontorkan oleh Allah SWT dari langit dan bumi atas penduduk negeri, tentu selama mereka menerapkan syariah-Nya secara kâffah. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []

Hikmah:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kalian mengkhianati Allah dan Rasul-Nya serta mengkhianati amanah-amanah kalian, sementara kalian tahu (TQS al-Anfal [8]: 27).

0 comments:

Posting Komentar