300x250 AD TOP

Jumat, 02 Februari 2018

Tagged under:

Mudharabah

ONE DAY ONE HADIST

Jumat, 2 Februari  2018 M / 16 Jumadil Awwal 1439 H.

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ دَفَعَ إِلَى يَهُودِ خَيْبَرَ نَخْلَ خَيْبَرَ وَأَرْضَهَا عَلَى أَنْ يَعْتَمِلُوهَا مِنْ أَمْوَالِهِمْ وَلِرَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- شَطْرُ ثَمَرِهَا.

Dari Abdullah bin Umar dari Rasulullah, bahwa Rasulullah menyerahkan kepada bangsa Yahudi Khaibar kebun kurma dan ladang daerah Khaibar, agar mereka menggarapnya dengan biaya mereka sendiri, dengan perjanjian, Rasulullah mendapatkan separuh hasil panennya. (HR. Muslim 4048)

Mudharabah diambil dari kata adh-dharbu fil ardhi yang artinya safar (berjalan di muka bumi) untuk melakukan perdagangan.

Allah Ta’ala berfirman:

وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِن فَضْلِ اللَّهِ

“… Dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah…” [Al-Muzzammil: 20]

Dan disebut pula qiradh diambil dari kata al-Qardhu yang artinya al-qath’u (memotong) karena si pemilik memotong sebagian dari hartanya untuk berdagang dan sebagian yang lain dari keuntungannya.

Sedangkan yang dimaksud di sini adalah akad antara dua pihak, yaitu salah satu dari keduanya membayar secara tunai kepada pihak yang lain agar ia bertani atau  berdagang dengannya, dan keuntungannya dibagi antara keduanya sesuai dengan apa yang menjadi kesepa-katan mereka berdua, sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad Shalallahu alaihi wassalam sesuai dengan yang diriwayatkan oleh imam Muslim pada hadits no 4048 tersebut.

Pensyari’atan Mudharabah
Ibnul Mundzir berkata dalam kitabnya, al-Ijmaa’ (hal. 124), “Mereka (ulama) telah berijma’ (sepakat) akan bolehnya qiradh dengan dinar dan dirham, dan mereka juga berijma’ bahwa bagi si pekerja agar mensyaratkan kepada pemilik harta (untuk memperoleh) sepertiga dari keuntungan atau setengahnya atau sesuai apa yang mereka berdua sepakati atasnya setelah menjadi jelas bagiannya.”

Dan para Sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah beramal dengannya.

Dari Zaid bin Aslam dari ayahnya bahwa, ia berkata, “‘Abdullah dan ‘Ubaidullah, dua putera ‘Umar bin al-Khaththab, keluar bersama pasukan menuju Irak. Ketika kembali keduanya melewati Abu Musa al-Asy’ari yang saat itu menjabat sebagai amir atas kota Bashrah, ia (Abu Musa) pun menyambut kedatangan mereka berdua, kemudian berkata, ‘Jika aku mampu memberikan kepada kalian suatu urusan yang bermanfaat bagi kalian niscaya aku akan melakukannya.’ Kemudian ia (melanjutkan) ucapannya, ‘Ya, ini ada harta dari harta Allah, aku ingin mengirimnya kepada Amirul Mukminin, aku akan meminjamkannya kepada kalian sehingga kalian bisa membeli barang dagangan Irak dengannya kemudian kalian jual di Madinah, lalu kalian sampaikan (kembalikan) modalnya kepada Amirul Mukminin dan keuntungannya untuk kalian berdua.’ Keduanya menjawab, ‘Kami menyukai hal tersebut.’ Lantas ia pun melakukannya dan menulis surat kepada ‘Umar untuk mengambil harta dari keduanya. Ketika keduanya sampai, dan mendapatkan keuntungan. Pada saat keduanya memberikannya kepada ‘Umar, ia (‘Umar) berkata, ‘Apakah ia memberikan pinjaman kepada setiap pasukan seperti apa yang dipinjamkan kepada kalian?’ Keduanya menjawab, ‘Tidak.’ Maka ‘Umar bin al-Khaththab berkata, ‘(Apakah karena) kalian berdua putera Amirul Mukminin, sehingga ia meminjaminya kepada kalian berdua? Berikan harta dan keuntungannya!’ Adapun ‘Abdullah, maka ia diam, sedangkan ‘Ubaidullah ia berkata, ‘Tidak sepantasnya engkau melakukan ini, wahai Amirul Mukminin! Seandainya harta ini berkurang atau rusak niscaya kami yang menanggungnya.’ ‘Umar berkata, ‘Berikanlah hartanya.’ ‘Abdullah terdiam dan ‘Ubaidullah tetap membantahnya. Maka salah seorang anggota majelis ‘Umar berkata, ‘Wahai Amirul Mukminin, (bagaimana) kalau engkau menjadikannya sebagai qiradh?’ Lalu ia menjawab, ‘Aku telah menjadikannya sebagai qiradh.’ Lalu ‘Umar mengambil modalnya dan setengah dari keuntungannya dan ‘Abdullah serta ‘Ubaidullah, dua putera ‘Umar bin al-Khaththab mengambil setengah keuntungan dari harta tersebut.”

Shahih: [Irwaa-ul Ghaliil (V/291)], Muwaththa’ Imam Malik (479/1385), al-Baihaqi (VI/110).
Akad mudlarabah ialah akad yang dilakukan oleh dua pihak atau dua orang dimana salah satu pihak atau salah seorang menyerahkan sejumlah uang kepada pihak atau orang lain untuk dijadikan modal dalam berusaha (berdagang) dengan keuntungan dibagi untuk mereka berdua berdasarkan kesepakatan; dan jika terjadi kerugian ditanggung pemilik modal. (Lihat as-Sayid ‘Ali Fikri, al-Mu’amalah al-Madiyah wa al-Adabiyah, Juz I, halaman 179). Dengan ungkapan lain dapat dikatakan bahwamudlarabah adalah akad kerjasama untuk melakukan usaha (dagang) antara dua pihak dimana pihak pertama menyediakan seluruh (100%) modal (shahibul mal),sedang pihak kedua menjadi pengelolanya(mudlarib). Keuntungan dari usaha yang dilakukan pihak kedua, dibagi menurut kesepakatan sesuai yang tertuang pada waktu akad. Sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kecurangan, kelalaian, keteledoran atau kecerobohan pengelola. Seandainya kerugian itu diakibatkan karena kecurangan, kelalaian, keteledoran atau kecerobohan pengelola, maka pengelola harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut (lihat: Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syari’ah dari Teori ke Praktek, halaman 90).

Wallahu a‘lam bish-shawab. 
 

0 comments:

Posting Komentar