300x250 AD TOP

Jumat, 08 Juni 2018

Tagged under: ,

Mewujudkan Takwa Individu, Masyarakat dan Negara

Saat ini kita sudah berada di sepertiga akhir Ramadhan.
Sebagaimana telah dimaklumi, shaum Ramadhan adalah salah satu sarana yang bisa mengantarkan kaum Muslim menjadi pribadi-pribadiyang bertakwa. Allah SWT berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana puasa itu telah diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa (QS al-Baqarah [2]: 183).
Namun demikian, puasa Ramadhan saja tidaklah cukup. Faktanya, selain puasa Ramadhan, Allah SWT telah memerintahkan kaum Muslim banyak hal agar mereka benar-benar bertakwa (la’allakum tattqûn). Di antaranya: Pertama, Allah SWT memerintahkan kaum Muslim untuk beribadah kepada Allah SWT. Inilah yang Allah SWT tegaskan:
يَاأَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Hai manusia, beribadahlah kepada Tuhan kalian yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa (QS al-Baqarah [2]: 21).
Ibadah tentu bukan sekadar menjalankan ritualitas saja seperti shalat, shaum, zakat dan haji. Ibadah mencakup totalitas penghambaan/pengabdian kepada Allah SWT dengan menjalankan seluruh syariah-Nya. Inilah yang Allah SWT tegaskan dalam firman-Nya:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Aku tidak menciptakan jin dan manusia kecuali agar mereka mengabdi (menghambakan diri) kepada-Ku (QS adz-Dzariyat [52]: 56).
Mengomentari ayat di atas, Ibnu Hazm dalam kitab Al-Fashl fi al-Milal wa al-Ahwâ’ wa an-Nihal (3/80), menjelaskan bahwa maksud ayat di atas adalah agar mereka menjadi hamba (abdi) Allah SWT dengan melaksanakan semua hukum-Nya dan patuh pada apa saja yang telah Dia tetapkan atas mereka. Ibadah seperti inilah yang bisa mengantarkan setiap Muslim menjadi pribadi yang bertakwa.
Kedua, Allah SWT memerintahkan kaum Muslim untuk menerapkan semua hukum Allah SWT, di antaranya hukum qishash. Inilah yang Allah SWT tegaskan:
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَاأُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Di dalam hukum qishash itu terdapat kehidupan, wahai kaum yang berakal, agar kalian bertakwa (QS al-Baqarah [2]: 179).
Jika hukum qishash yang menyangkut hak adami (manusia) saja wajib diterapkan, apalagi hudud yang menyangkut hak Allah—seperti hukum cambuk/rajam bagi pezina, hukum potong tangan bagi pencuri, dll. Semua itu tentu lebih wajib untuk diterapkan. Penerapan hukum qishash, juga semua hukum Allah SWT yang lain, pasti akan membuat orang takut untuk berbuat dosa dan kriminal. Inilah yang antara lain ditegaskan oleh Imam ath-Thabari dalam tafsirnya, Jâmi al-Bayân fî Ta’wîl al-Qur’ân (3/382). Singkatnya, penerapan hukum-hukum Allah SWT akan memaksa siapapun untuk menjadi orang yang bertakwa.
Ketiga, Allah SWT memerintahkan kaum Muslim untuk hanya mengikuti jalan Islam, dan tidak mengikuti jalan-jalan selain Islam. Ini pula yang Allah SWT tegaskan:
وَأَنَّ هَذَا صِرَاطِي مُسْتَقِيمًا فَاتَّبِعُوهُ وَلَا تَتَّبِعُوا السُّبُلَ فَتَفَرَّقَ بِكُمْ عَنْ سَبِيلِهِ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
Sungguh, inilah jalan-Ku yang lurus. Karena itu ikutilah jalan itu dan jangan kalian mengikuti jalan-jalan lain karena bisa menceraiberaikan kalian dari jalan-Nya. Demikianlah kalian diperintahkan agar kalian bertakwa (QS al-An’am [6]: 153).
Menurut Imam as-Samarqandi dalam kitab tafsirnya, Bahr al-‘Ulûm (1/495), ayat ini bermakna, bahwa Islam sebagai agama yang Allah ridhai adalah jalan yang lurus. Karena itu ikutilah jalan Islam. Janganlah kalian mengikuti jalan-jalan lain, yakni jalan kaum Yahudi dan Nasrani. Hanya dengan menetapi jalan Islam dan menjauhi jalan-jalan selain Islam, kita akan menjadi orang yang bertakwa.
Sayang, banyak orang, meski mengaku memeluk Islam, tidak sepenuhnya mengambil jalan Islam. Dalam hal ibadah ritual mereka memang mengambil jalan Islam. Shalat mereka, shaum mereka, zakat mereka dan haji mereka tentu diambil dari hukum-hukum fikih Islam. Namun anehnya, dalam muamalah, mereka mengambil hukum-hukum di luar Islam. Dalam ekonomi dan bisnis, mereka merujuk pada teori-teori dan hukum-hukum ekonomi dan bisnis kapitalis Barat sekular yang diajarkan oleh para tokoh Yahudi seperti Adam Smith, David Ricardo, Keynes, dll. Dalam politik dan pemerintahan, mereka merujuk pada sistem demokrasi Barat sekular yang diambil dari ajaran para tokoh Kristen seperti Montesque, JJ Rousseu, Thomas Hobes, David Home dll. Dalam bidang sosial dan pendidikan, mereka pun mengacu pada teori-teori pendidikan yang diajarkan oleh para pakar pendidikan dan ahli psikologi Barat sekular.
Jelas, semua ini telah menjauhkan kaum Muslim dari ketakwaan hakiki kepada Allah SWT.
Hakikat Takwa
Berbicara tentang takwa, Ibn Abi Dunya dalam Kitâb at-Taqwâ mengutip pernyataan Umar bin Abbdul Aziz ra., "Takwa kepada Allah itu bukan dengan sering shaum di siang hari, sering shalat malam, atau sering melakukan kedua-duanya. Akan tetapi, takwa kepada Allah itu adalah meninggalkan apa saja yang Allah haramkan dan melaksanakan apa saja yang Allah wajibkan."
Takwa seperti inilah yang bisa menjadikan diri kita meraih kedudukan yang paling mulia di sisi Allah, sebagaimana firman-Nya:
إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
Sungguh orang yang paling mulia di antara kalian adalah yang paling bertakwa (QS al-Hujurat [49]: 13).
Dalam konteks ini pula, Syaikh Abdul Qadir Jailani pernah bertutur bahwa kemuliaan seseorang ada dalam ketakwaannya, sementara kehinaannya ada dalam kemaksiatannya. Tentu kemaksiatan terbesar adalah keengganan manusia untuk berhukum dengan al-Quran. Inilah juga yang dikeluhkan oleh Rasulullah saw. Beliau bahkan mengadukan kepada Allah SWT umatnya yang mengabaikan al-Quran, sebagaimana firman-Nya:
وَقَالَ الرَّسُولُ يَارَبِّ إِنَّ قَوْمِي اتَّخَذُوا هَذَا الْقُرْءَانَ مَهْجُورًا
Berkatalah Rasul, “Tuhanku, sungguh kaumku telah menjadikan al-Quran ini suatu yang diabaikan.” (QS al-Furqan [25]: 30).
Menurut mufassir ternama, Imam Ibnu Katsir dalam kitab Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm (2/631), di antara sikap mengabaikan al-Quran adalah tidak mengamalkan isinya dan tidak mau mengambil hukum-hukum yang ada di dalamnya.
Atas dasar itu, kita harus segera kembali pada al-Quran. Inilah wujud ketakwaan hakiki kita.
‘Takwa Kolektif’
Ketakwaan tentu harus diwujudkan tidak hanya dalam ranah individu belaka, tetapi juga pada ranah masyarakat dan negara. Inilah yang boleh disebut sebagai “ketakwaan kolektif”. Ketakwaan kolektif ini hanya mungkin bisa diwujudkan dalam institusi negara yang menerapkan syariah Islam secara kâffah. Institusi negara itu tidak lain adalah Khilafah ‘ala minhaj an-nubuwwah. Khilafah inilah yang pernah dipraktikan secara nyata oleh Khulafur Rasyidin ridwânulLâh ‘alayhim dulu.
Sayang, hari ini khilafah dikriminalisasi. Organisasi yang mendakwahkan kewajiban menegakkan khilafah dibubarkan. Para aktivisnya dipersekusi dengan tuduhan sepihak tanpa bukti, yakni anti Pancasila. Padahal jelas, khilafah adalah ajaran Islam. Menurut Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitabnya, Ash-Shawâ’iq al-Muhriqah (hlm. 7), kewajiban menegakkan Khilafah bahkan telah menjadi Ijmak Sahabat. Menurut Imam al-Ghazali dalam kitabnya, Al-Mustashfâ (1/14), Ijmak Sahabat itu tidak bisa di-naskh (dihapuskan/dibatalkan). Jika Pancasila selama ini diklaim tidak bertentangan dengan Islam, logikanya khilafah yang merupakan ajaran Islam tidak boleh dituding bertentangan dengan Pancasila.
Selain wajib, kembalinya Khilafah adalah janji Allah SWT dan kabar gembira Rasulullah saw., sebagaimana sabda beliau:
ثُمّ سَتَكُوْنُ خِلاَفَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ
Kemudian akan datang kembali masa Khilafah yang mengikuti metode kenabian (HR Ahmad).
Insya Allah, masa yang mulia itu akan segera tiba. Allahu akbar! []
—***—
Sumber:
Buletin Kaffah No. 044 (23 Ramadhan 1439 H - 8 Juni 2018 M)
Download file PDF:
https://goo.gl/pKaXRj

0 comments:

Posting Komentar