300x250 AD TOP

Rabu, 18 September 2019

Tagged under:

Doa Lapang Dada

ONE DAY ONE DOA

Rabu,   18  September 2019 M / 18  Muharam  1441 H

Oleh : Dr. Ajang Kusmana
(Tinggal di Kabupaten Malang Jawa Timur)

قَالَ رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي  وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِي  يَفْقَهُوا قَوْلِي

ROBBISROHLI SODRI WA YASSIRLII AMRII WAH LUL UQDATAM MILLISAANII YAFQOHUU QOULII

Musa berkata , “Ya Rabbku, lapangkanlah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku”.

(QS. Thoha: 25-28)

Problema kehidupan yang datang silih berganti dalam hidup, masalah demi masalah terus berdatangan dan pada akhirnya menyebabkan stres dan kegelisahan yang berkepanjangan. Bila demikian adanya doa tersebut bias dibaca untuk melapangkan dada dan menerangi hati,  cahaya hati  akan redup ketika masalah melilit. Jangan biarkan cahaya hati semakin meredup berilah siraman yang cukup karena sesungguhnya bukan hanya tubuh yang membutuhkan asupan tapi hati juga butuh akan hal-hal yang membangkitkan kebaikan di dalamnya.
Sifat iri bisa kita kalahkan dengan perasaan senang ketika saudara memperoleh  anugerah dari Allah SWT dan sombong bisa kita matikan dengan cara mengingat akan kekurangan diri kita serta menjadikan kelebihan sebagai wujud syukur kita terhadap pemberian Allah SWT dengan cara ini hati  menjadi lapang dan jauh dari rasa gelisah hati. Maka dari itu penting bagi seorang muslim senantiasa mendekatkan diri dengan selalu berdoa terhadapNya agar hati kita terasa tenang. Hati yang gelisah dijadikan alat oleh syetan untuk merapuhkan iman. Sehingga manusia yang hatinya gelisah akan cenderung melakukan hal-hal yang ceroboh. Seseorang yang memiliki dada yang lapang maka akan dimudahkan urusannya. Karena ketika dada lapang pikiranpun akan tenang.
Hati atau dada akan lapang ketika mengingat Allah. Tapi bagi orang yang lalai untuk mengingat Allah maka hatinya akan senatiasa gelisah dan semakin jauh dari Allah. Hal ini merupakan bukti bahwa hanya orang yang beriman yang mengingat Allah yang hatinya akan merasa tentram. Mungkin kita sering melihat seseorang yang dalam kehidupannya terlihat bahagia ternyata hatinya tidak tenang. Hal ini banyak terjadi diantara kita karena kebahagian yang kita dapatkan adalah kebahagian lahiriah. Kebahagiaan lahiriah bersifat semu.
Sudah menjadi tabiat manusia bahwa mereka menyukai sesuatu yang dapat menyenangkan hati dan menentramkan jiwa mereka. Oleh sebab itu, banyak orang yang rela mengorbankan waktunya, memeras otaknya, dan menguras tenaganya, atau bahkan mengeluarkan biaya yang tidak kecil jumlahnya demi meraih apa yang disebut sebagai kepuasan dan ketenangan hati.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata :
وَمَا زَادَ اللهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلاَّ عِزًّا
Dan tidaklah Allah menambah seorang hamba dengan kemudahan untuk memaafkan kecuali Allah akan memberinya kemuliaan.
[HR Muslim no. 6535].
Ketika seseorang melatih diri untuk berlapang dada terhadap kesalahan manusia, tidak membalasnya dengan kejelekan. Karena, tidak ada obat yang paling efektif dapat meredam kejahatan (orang lain) melebihi perbuatan yang baik kepadanya.  ‘Aisyah Radhiyallahu anha bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Wahai, Rasulullah! Pernahkah engkau melewati suatu hari yang lebih berat dari peperangan Uhud?”
Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,”Aku telah mengalami gangguan dari kaum-mu. Peristiwa yang paling berat kulalui adalah pada hari ‘Aqabah. Aku mendatangi Ibnu ‘Abdil-Lail bin Abdi Kilal, namun ia tidak menyambutku. Aku bergegas pergi dalam keadaan sedih bukan kepalang. Aku baru menyadari ketika telah sampai di daerah Qarnuts-Tsa’âlib. Aku angkat kepalaku, dan tiba-tiba terlihat awan yang menaungiku. Aku amati, dan muncullah Jibril seraya berseru,’Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla telah mendengar perkataan dan penolakan kaummu. Dia Subhanahu wa Ta’ala telah mengutus malaikat penjaga gunung untuk siap engkau perintah’. Malaikat penunggu gunung pun memanggil dan mengucapkan salam kepadaku, seraya berseru: “Wahai, Muhammad! Sesungguhnya Allah telah mendengar penolakan kaummu. Dan aku penjaga gunung mendapat titah untuk menerima perintahmu sesuai dengan kehendakmu. Jika engkau mau, maka aku akan benturkan dua gunung ini di atas mereka”.
(Mendengar seruan malaikat ini), beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam justru berkata:
بَلْ أَرْجُو أَنْ يُخْرِجَ اللهُ مِنْ أَصْلاَبِهِمْ مَنْ يَعْبُدُ الهَi وَحْدَهُ لاَ يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا
Sesungguhnya aku berharap Allah akan mengeluarkan dari tulang sulbi mereka keturunan yang beribadah kepada Allah semata, tidak menyekutukan-Nya dengan apapun.
[HR Muslim no. 4629].
Nabi Muhammad dalam kasus tersebut sebagai orang yang telah dilapangkan dadanya oleh Allah SWT. (Q. S. 94: 1). Menurut Muhammad Ali al-Shabuni dalam buku tafsirnya Shafwat al-Tafasir, yang dimaksud dengan dilapangkan dadanya ialah bahwa hati Nabi SAW telah dipenuhi dengan iman, diterangi dengan cahaya kebajikan dan kebenaran, serta disucikan dari berbagai kotoran dan dosa-dosa. Di dalam dada yang lapang dan hati yang bersih itulah bersemayam iman dan takwa. ''Tempat takwa itu di sini!'' sabda Nabi Muhammad SAW, sambil menunjuk ke dadanya.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata: “Pada suatu hari kami sedang duduk-duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam. Beliau lalu bersabda:
يَطْلُعُ عَلَيْكُمُ الْآنَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ
“Saat ini akan muncul kepada kalian seorang laki-laki dari kalangan penghuni surga.”
Tiba-tiba muncul seorang laki-laki dari kalangan sahabat Anshar, jenggotnya masih meneteskan bekas air wudhu, sedang tangan kirinya memegang kedua sandalnya.
Keesokan harinya, saat kami sedang duduk-duduk bersama bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam, beliau kembali bersabda:
يَطْلُعُ عَلَيْكُمُ الْآنَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ
“Saat ini akan muncul kepada kalian seorang laki-laki dari kalangan penghuni surga.”
Tak berapa lama kemudian, laki-laki Anshar yang sama kembali muncul di hadapan kami.
Keesokan harinya, saat kami sedang duduk-duduk bersama bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam, beliau kembali bersabda:
يَطْلُعُ عَلَيْكُمُ الْآنَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ
“Saat ini akan muncul kepada kalian seorang laki-laki dari kalangan penghuni surga.”
Tak berapa lama kemudian, laki-laki Anshar yang sama kembali muncul di hadapan kami.
dari kalangan sahabat Anshar, jenggotnya masih meneteskan bekas air wudhu, sedang tangan kirinya memegang kedua sandalnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam kemudian berdiri dan kami pun bubar. Pada saat itulah Abdullah bin Amru bin Ash mengikuti laki-laki Anshar yang tiga kali muncul di hadapan kami setelah disabdakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam.
“Saya sedang terlibat cek-cok dengan ayah saya. Saya telah bersumpah tidak akan masuk ke rumahnya selama tiga hari. Jika Anda berkenan, saya ingin menginap di rumah Anda selama tiga hari ini.” Kata Abdullah bin Amru, mencari-cari alasan untuk bisa menginap di rumah sahabat Anshar tersebut.
“Ya, silahkan.” Jawab sahabat Anshar tersebut.
Anas bin Malik berkata: “Abdullah bin Amru bin Ash telah menceritakan bahwa ia telah menginap di rumah sahabat Anshar tersebut selama tiga malam. Selama itu, Abdullah bin Amru tidak pernah melihatnya sedikit pun melakukan shalat malam. Jika ia terbangun di waktu malam, ia hanya membolak-balikkan badannya di atas ranjangnya, berdzikir dan bertakbir, kemudian tidur kembali. Ia baru bangun kembali jika waktunya melaksanakan shalat Subuh.”
Abdullah bin Amru berkata, “Hanya saja aku tidak pernah berbicara kecuali hal-hal yang baik. Tiga malam telah berlalu dan aku hampir saja menganggap remeh amal perbuatannya. Maka aku pun menceritakan kepadanya tujuanku.
“Wahai Abdullah (hamba Allah), sebenarnya antara aku dan bapakku tidak ada kemarahan, juga tidak ada hal yang mengharuskanku meninggalkannya. Namun aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda sebanyak tiga kali tentang dirimu:
يَطْلُعُ عَلَيْكُمُ الْآنَ رَجُلٌ مِنْ أَهْلِ الْجَنَّةِ
“Saat ini akan muncul kepada kalian seorang laki-laki dari kalangan penghuni surga.”
Maka engkau muncul sebanyak tiga kali. Oleh karena itu aku ingin tidur di rumahmu agar aku bisa melihat amal perbuatanmu, sehingga aku bisa meneladaninya. Namun aku tidak melihatmu melakukan banyak amal kebajikan. Jika begitu, amalan apa yang menyampaikanmu kepada kedudukan yang telah disabdakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam tersebut?”
Laki-laki Anshar itu menjawab, “Amal kebaikanku hanyalah amal yang telah engkau lihat. Hanya itu amalku.”
Abdullah bin Amru berkata: “Ketika aku hendak berjalan pulang, tiba-tiba laki-laki Anshar itu memanggilku kembali dan berkata:
مَا هُوَ إِلَّا مَا رَأَيْتَ، غَيْرَ أَنِّي لَا أَجِدُ فِي نَفْسِي لِأَحَدٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ غِشًّا، وَلَا أَحْسُدُ أَحَدًا عَلَى خَيْرٍ أَعْطَاهُ اللهُ إِيَّاهُ
“Amalku hanyalah amal yang telah engkau lihat. Namun di dalam jiwaku sama sekali tidak pernah terbetik rasa ghisy (tidak tulus) terhadap seorang muslim pun, dan aku juga tidak pernah iri kepada seorang pun atas sebuah nikmat yang Allah karuniakan kepadanya.”
Mendengar penuturan tersebut, Abdullah bin Amru berkataku:
هَذِهِ الَّتِي بَلَغَتْ بِكَ، وَهِيَ الَّتِي لَا نُطِيقُ
“Inilah sebenarnya amalan yang telah mengantarkanmu kepada kedudukan tersebut. Dan justru inilah amalan yang kami belum sanggup melakukannya.”
(HR. Ahmad no. 12697, Abdur Razzaq no. 20559, Al-Bazzar no. 1981, Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman no. 6605, Syu’aib Al-Arnauth berkata: Sanadnya shahih menurut syarat Bukhari dan Muslim)
Orang yang bersih hati dan lapang dada, seperti dikemukakan di atas, tak lain adalah orang-orang yang mampu menekan secara maksimal kecenderungan-kecenderungan buruk yang ada dalam dirinya, seperti rasa benci, dengki, dan iri hati, Sebaliknya, ia mampu dan berhasil mengembangkan potensi-potensi baik menjadi perilaku nyata mewujud dalam bentuk akhlaq al-karimah.

0 comments:

Posting Komentar