300x250 AD TOP

Kamis, 02 April 2020

Tagged under:

Fiqih Shiyam (Bag-9)

📚 Orang Sakit & Musafir

📕 Matan Abu Syuja’

وَالْمَرِيضُ وَالْمُسَافِرُ سَفَرًا طَوِيلًا يُفْطِرَانِ وَيَقْضِيَانِ. وَالصَّوْمُ فِي السَّفَرِ أَفْضَلُ مِنَ الْفِطْرِ إِنْ لَمْ يَتَضَرَّرْ بِهِ.

Orang yang sakit dan musafir dengan perjalanan panjang boleh berbuka dan wajib qadha. Berpuasa dalam perjalanan (bagi musafir) lebih baik daripada tidak berpuasa jika tidak menimbulkan madharat baginya.

📒 Penjelasan

✅ Orang sakit dan musafir boleh tidak berpuasa Ramadhan dan wajib qadha berdasarkan firman Allah ta’ala:

📎 وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ

Dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. (QS. Al-Baqarah: 185).

📌 Orang Sakit

✅ Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan sakit yang dengannya seorang boleh berbuka:

قَالَ أَصْحَابُنَا: شَرْطُ إبَاحَةِ الْفِطْرِ أَنْ يَلْحَقَهُ بِالصَّوْمِ مَشَقَّةٌ يُشَقُّ احْتِمَالُهَا ... وَأَمَّا الْمَرَضُ الْيَسِيرُ الَّذِي لَا يَلْحَقُ بِهِ مَشَقَّةٌ ظَاهِرَةٌ لَمْ يَجُزْ لَهُ الْفِطْرُ بِلَا خِلَافٍ عِنْدَنَا ... فَإِنْ كَانَ مَحْمُومًا وَقْتَ الشُّرُوعِ فِي الصَّوْمِ فَلَهُ تَرْكُ النِّيَّةِ وَإِلَّا فَعَلَيْهِ أَنْ يَنْوِيَ مِنْ اللَّيْلِ ثُمَّ إنْ عَادَ الْمَرَضُ وَاحْتَاجَ إلَى الْفِطْرِ أَفْطَرَ وَاَللَّهُ أَعْلَمُ (المجموع 6/258)

Berkata para sahabat kami: “Syarat boleh berbuka adalah jika puasa membuat sakitnya berat dan sulit untuk menahannya … Adapun sakit sedikit yang dengan puasa ia tidak mengalami kesulitan yang nyata, maka ia tak boleh berbuka tanpa ada perbedaan diantara kami. Jika ia demam tinggi waktu menjelang puasa (sebelum subuh), maka ia boleh tidak berniat puasa. Jika tidak demikian, maka ia wajib berniat sejak malam. Kemudian bila sakitnya kembali muncul dan perlu berbuka, ia boleh berbuka. Wallahu a’lam." (Al-Majmu’ 6/258).

📌 Musafir 

✅ Safar (perjalanan) yang dengannya seorang musafir boleh berbuka adalah safar bukan dalam kemaksiatan dan jaraknya minimal 4 barid atau 16 farsakh (sekali perjalanan, bukan pulang-pergi) yaitu sekitar 88 km (Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, 1/142), atau sekitar 81 km (At-Tadzhib, hlm 73).

✅ Al-Imam An-Nawawi menyebutkan:

لَا يَجُوزُ الْفِطْرُ فِي رَمَضَانَ فِي سَفَرِ مَعْصِيَةٍ بِلَا خِلَافٍ وَلَا فِي سَفَرٍ آخَرَ دُونَ مَسَافَةِ الْقَصْرِ بِلَا خِلَافٍ

Tidak boleh berbuka di bulan Ramadhan pada safar maksiat tanpa perbedaan pendapat (dalam madzhab Syafi’i), dan juga pada safar (bukan maksiat) yang kurang dari jarak dibolehkannya qashar (shalat) tanpa perbedaan pendapat (dalam madzhab Syafi’i). (Al-Majmu’ 6/261).

📎 عَنْ عَطَاء بْنِ أَبِي رَبَاح أَنَّ ابْنَ عُمَرَ وَابْنَ عَبَّاسٍ كَانَا يُصَلِّيَانِ رَكْعَتَيْنِ وَيُفْطِرَانِ فِي أَرْبَعَةِ بُرُدٍ فَمَا فَوْقَ ذَلِكَ

Dari ‘Atha bin Abi Rabah bahwa sesungguhnya Abdullah bin Umar dan Abdullah bin Abbas shalat (qashar) dua rakaat dan tidak berpuasa dalam (safar) 4 barid atau lebih dari itu. (HR. Al-Baihaqi & Al-Bukhari secara mu’allaq).

✅ Al-Imam An-Nawawi menyatakan bahwa isnad Al-Baihaqi shahih, dan Al-Bukhari meski meriwayatkan secara mu’allaq namun dengan pernyataan tegas sehingga dapat disimpulkan shahih menurutnya. (Al-Majmu’ 2/328).

✅ Safar untuk berbuat maksiat tidak berhak memperoleh rukhshah (keringanan) apapun. Al-Qur’an memberikan rukhshah makan yang haram karena terpaksa, tidak ada keinginan memakannya, dan tidak melampaui batas. Dengan demikian orang yang menginginkan maksiat dengan safarnya tidak berhak mendapatkan rukhshah berbuka puasa.

📎 إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلَا عَادٍ فَلَا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Baqarah: 173).

✅ Kaidahnya adalah:

اَلرُّخَصُ لَا تُنَاطُ بِالْمَعَاصِي

Rukhshah itu tidak boleh dikaitkan dengan maksiat.

✅ Rukhshah disyariatkan untuk membantu meraih tujuan yang mubah demi meraih maslahat yang dibenarkan. Memberi rukhshah kepada musafir dalam safar kemaksiatan bertentangan dengan prinsip tersebut. (Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, 2/1345-1346).

✅ Musafir boleh tidak puasa sejak awal hari keberangkatannya menurut madzhab Syafi’i jika ia berangkat safar dan meninggalkan kawasan permukimannya sebelum subuh. Jika ia berangkat sesudah subuh, atau ragu apakah saat ia berangkat sudah subuh atau belum, maka tetap wajib berniat puasa sejak malam, karena ia belum disebut musafir saat fajar tiba. Namun di tengah safarnya, ia boleh memilih antara terus puasa atau berbuka. (Al-Majmu’ 6/261-262).

📌 Berpuasa Lebih Baik daripada Berbuka Bila Tidak Menyulitkan Safar

✅ Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menyebutkan:

(وَأَمَّا) أَفْضَلُهُمَا فَقَالَ الشَّافِعِيُّ وَالْأَصْحَابُ: إنْ تَضَرَّرَ بِالصَّوْمِ فَالْفِطْرُ أَفْضَلُ وَإِلَّا فَالصَّوْمُ أَفْضَلُ

Adapun yang lebih afdhal dari keduanya (tetap puasa atau tidak), maka Asy-Syafi’i dan para sahabat (kami) berkata: “Jika ia mengalami madharat (kepayahan) dengan berpuasa, maka berbuka adalah afdhal, jika tidak maka (tetap) berpuasa adalah afdhal.” (Al-Majmu’ 6/261).

✅ Dalilnya adalah:

📎 Prinsip dasar ayat Al-Qur’an:

وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ

Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS. Al-Baqarah: 184)

📎 Hadits berupa perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ خَرَجْنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ فِي حَرٍّ شَدِيدٍ حَتَّى إِنْ كَانَ أَحَدُنَا لَيَضَعُ يَدَهُ عَلَى رَأْسِهِ مِنْ شِدَّةِ الْحَرِّ وَمَا فِينَا صَائِمٌ إِلَّا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَبْدُ اللَّهِ بْنُ رَوَاحَةَ 

Dari Abu Ad-Darda radhiyallahu ‘anhu ia berkata: “Kami pergi bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam di bulan Ramadhan di panas terik sehingga salah seorang dari kami meletakkan tangannya di kepalanya karena panas yang sangat dan tidak ada yang berpuasa diantara kami kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan Abdullah bin Rawahah”. (HR. Al-Bukhari no 1945, dan Muslim no 1122).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tetap berpuasa karena beliau tidak mengalami kepayahan dan beliau tidak melakukan sesuatu kecuali yang terbaik.

📎 Tetap berpuasa - jika tidak memayahkan dalam safar - lebih baik karena lebih cepat menunaikan kewajiban, sedangkan berbuka mengharuskan qadha yaitu menunda pelaksanaan kewajiban.

📎 Tetap berpuasa - jika tidak payah - lebih baik karena bulan Ramadhan lebih mulia dengan berbagai keutamaannya dari pada bulan yang lain ketika melakukan qadha.

📎 Tetap berpuasa di bulan Ramadhan - jika tidak menyulitkan - bersama mayoritas masyarakat muslim yang mukim terasa lebih mudah bagi kebanyakan orang karena ada unsur kebersamaan dibandingkan qadha puasa yang boleh jadi hanya dilakukan sendirian.

(وَأَمَّا) الْأَحَادِيثُ الَّتِي احْتَجُّوا بِهَا الْمُخَالِفُونَ فَمَحْمُولَةٌ عَلَى مَنْ يَتَضَرَّرُ بِالصَّوْمِ وَفِي بَعْضِهَا التَّصْرِيحُ بِذَلِكَ وَلَابُدَّ مِنْ هَذَا التَّأْوِيلِ لِيُجْمَعَ بَيْنَ الْأَحَادِيثِ (6/265)

Adapun hadits-hadits yang dijadikan argumentasi oleh pihak yang berbeda pendapat dengan kami, maka hadits-hadits tersebut berlaku bagi mereka yang mengalami kepayahan dengan puasa (dalam safar mereka), dan sebagian dari hadits-hadits tersebut menyebutkan tegas hal ini. Jadi ia harus ditafsirkan demikian agar semua hadits shahih (dalam masalah ini) dapat disinkronkan. (Al-Majmu’ 6/265).

✅ Sedangkan dalil bahwa berbuka lebih baik jika mengalami kepayahan dalam safar adalah hadits-hadits yang dimaksudkan oleh Al-Imam An-Nawawi tersebut, diantaranya:

📎 عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَرَجَ عَامَ الْفَتْحِ إِلَى مَكَّةَ فِي رَمَضَانَ فَصَامَ حَتَّى بَلَغَ كُرَاعَ الْغَمِيمِ فَصَامَ النَّاسُ ثُمَّ دَعَا بِقَدَحٍ مِنْ مَاءٍ فَرَفَعَهُ حَتَّى نَظَرَ النَّاسُ إِلَيْهِ ثُمَّ شَرِبَ فَقِيلَ لَهُ بَعْدَ ذَلِكَ إِنَّ بَعْضَ النَّاسِ قَدْ صَامَ فَقَالَ: "أُولَئِكَ الْعُصَاةُ أُولَئِكَ الْعُصَاةُ "

Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berangkat ke Mekkah saat Fathu Makkah di bulan Ramadhan, beliau berpuasa hingga sampai di Kura’ Al-Ghamim, orang-orang pun berpuasa. Kemudian beliau meminta sebejana berisi air lalu mengangkatnya sehingga orang-orang melihatnya kemudian beliau meminumnya. Sesudah itu dikatakan kepada beliau: ada sebagian orang yang tetap berpuasa, maka beliau bersabda: “Mereka itulah para pelanggar, mereka itulah para pelanggar.” (HR. Muslim).

✅ Hadits ini menunjukkan bahwa berbuka lebih baik jika puasa menyebabkan kesulitan dalam safar, bahkan menjadi wajib berbuka jika membuat pekerjaan atau jihad yang harus ditunaikan dalam perjalanan menjadi terbengkalai sehingga dalam hadits ini Rasulullah menyebut mereka yang tetap berpuasa sebagai para pelanggar perintah beliau.

📌 Catatan:

✅ Setiap pembatalan puasa Ramadhan tanpa alasan syar’i maka diwajibkan qadha sekaligus kafarat berupa fidyah memberi makan orang miskin, kecuali jima’ kafaratnya khusus sebagaimana telah dijelaskan.

✅ Qadha puasa wajib dilaksanakan sebelum Ramadhan berikutnya tiba. Dalam madzhab Syafi’i jika terlewat tanpa alasan syar’i, maka terlewatkannya waktu qadha ini mengharuskan fidyah juga, berapa kali Ramadhan yang terlewati sekian kali pula fidyahnya, di samping qadha puasanya sendiri. (Al-Majmu’ 6/364, Al-Fiqh Al-Manhaji 2/92).

Bersambung ..

Sumber: https://t.me/ilmusyariah
Admin: @Ilmusyariah_admin

0 comments:

Posting Komentar