300x250 AD TOP

Jumat, 01 Juni 2018

Tagged under:

Waktu Haram Shalat

ONE DAY ONE HADITS

Jumat,  1 Juni  2018 M / 16 Ramadhan 1439 H .

Dari ‘Uqbah bin ‘Amir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,

ثَلاَثُ سَاعَاتٍ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّىَ فِيهِنَّ أَوْ أَنْ نَقْبُرَ فِيهِنَّ مَوْتَانَا حِينَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ وَحِينَ يَقُومُ قَائِمُ الظَّهِيرَةِ حَتَّى تَمِيلَ الشَّمْسُ وَحِينَ تَضَيَّفُ الشَّمْسُ لِلْغُرُوبِ حَتَّى تَغْرُبَ

“Ada tiga waktu yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami untuk shalat atau untuk menguburkan orang yang mati di antara kami yaitu: (1) ketika matahari terbit (menyembur) sampai meninggi, (2) ketika matahari di atas kepala hingga tergelincir ke barat, (3) ketika matahari  akan tenggelam hingga tenggelam sempurna.”

 (HR. Muslim, no. 831)

 Shalat adalah tiang agama. Smakin banyak dan     baik shalatnya akan baik pula agamanya. Ketika seorang    muslim meninggalkan shalat maka seolah dia telah merobohkan  bangun Islam dalam kehidupan dirinya.

Shalat juga merupakan sarana paling utama bagi seorang hamba dalam berkomunikasi dengan Allah SWT. Kapan pun dan di mana pun seseorang diperbolehkan melakukan shalat sebagai sarana mendekatkan diri kepada Allah Subhanahu wata'ala.

Terdapat  5 (lima) waktu yang diharamkan untuk shalat.

Pertama, ketika terbitnya matahari. 

Waktu haram shalat yang pertama ini dimulai sejak mulai terbitnya matahari sampai dengan meninggi sekira ukuran satu tombak atau kurang lebih dua meter.  Dalam rentang waktu tersebut tidak diperbolehkan melakukan shalat. Namun bila posisi tinggi matahari sudah mencapai dua meter lebih, maka syah melakukan shalat secara mutlak.

Kedua, ketika waktu istiwa sampai dengan tergelincirnya matahari selain pada hari Jum’at.
Waktu istiwa adalah waktu di mana posisi matahari tepat di atas kepala. Pada saat matahari berada pada posisi ini diharamkan melakukan shalat. Perlu diketahui bahwa waktu istiwa’ sangat sebentar sekali sampai-sampai hampir saja tidak bisa dirasakan sampai matahari tergelincir, durasi istiwa diperkirakan 5 menit.

Keharaman melakukan shalat di waktu ini tidak berlaku untuk hari Jum’at. Artinya shalat yang dilakukan pada hari Jum’at dan bertepatan dengan waktu istiwa’ diperbolehkan dan syah shalatnya.

Ketiga, ketika matahari berwarna kekuning-kuningan sampai dengan tenggelam, yang sering disebut dengan waktu Ghurub.

Keempat, setelah melakukan shalat subuh sampai dengan terbitnya matahari. Keharaman shalat pada waktu ini berlaku bagi orang yang melakukan shalat subuh pada waktunya. 

Gambaran contoh kasusnya sebagai berikut, anggaplah waktu shalat subuh dimulai dari jam 4 pagi dan pada jam 5 matahari telah terbit yang juga berarti habisnya waktu subuh. Ketika seseorang melakukan shalat subuh pada jam 4.15 menit umpamanya, atau pada jam berapapun ia melakukannya, maka setelah selesai shalat subuh ia tidak diperbolehkan lagi melakukan shalat sunah sampai dengan terbitnya matahari dan bahkan sampai matahari meninggi kira-kira dua meter. Karena saat terbitnya matahari sampai dengan meninggi satu tombak juga merupakan waktu yang dilarang untuk melakukan shalat sebagaimana telah dijelaskan di atas. Sebaliknya, dalam rentang waktu jam 4 sampai jam 5 pagi selagi ia belum melakukan shalat subuh maka ia diperbolehkan melakukan shalat apapun. 

Kelima, setelah melakukan shalat Ashar sampai dengan tenggelamnya matahari. Sebagaimana diharamkan melakukan shalat setelah shalat subuh di atas juga diharamkan pula melakukan shalat bagi orang yang telah melakukan shalat Ashar.

Keharaman melakukan shalat setelah melakukan shalat Ashar ini terus berlaku sampai dengan tenggelamnya matahari.

Rasulullah SAW bersabda:

لاَ صَلاَةَ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَّمْسُ، وَلاَ صَلاَةَ بَعْدَ العَصْرِ حَتَّى تَغِيبَ الشَّمْسُ

Artinya: “Tak ada shalat setelah shalat Shubuh sampai matahari meninggi dan tak ada shalat setelah shalat Ashar sampai matahari tenggelam.” (HR. Imam Bukhari).

Shalat yang dilarang dilakukan pada lima waktu tersebut adalah shalat wajib dan shalat sunah apapun.

Perlu diketahui juga bahwa keharaman melakukan shalat di lima waktu tersebut tidak berlaku di tanah suci Makah. Artinya, di tanah suci Makah seseorang diperbolehkan melakukan shalat apapun di waktu kapanpun yang ia mau, termasuk di salah satu dari lima waktu yang diharamkan. Ini berdasarkan sabda Rasulullah SAW:

لَا تَمْنَعُوا أَحَدًا طَافَ بِهَذَا الْبَيْتِ وَصَلَّى أَيَّةَ سَاعَةٍ شَاءَ مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ

Artinya: “Jangan kalian larang seseorang berthawaf dan shalat di rumah ini (ka’bah) kapanpun ia mau baik siang malam maupun siang.” (HR. An-Nasai)

Firman Allah Subhanahu wata'ala yang berkaitan dengan tema hadits tersebut adalah

أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآَنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآَنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا (78) وَمِنَ اللَّيْلِ فَتَهَجَّدْ بِهِ نَافِلَةً لَكَ عَسَى أَنْ يَبْعَثَكَ رَبُّكَ مَقَامًا مَحْمُودًا (79)

“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat). Dan pada sebahagian malam hari bersembahyang tahajudlah kamu sebagai suatu ibadah tambahan bagimu; mudah-mudahan Tuhan-mu mengangkat kamu ke tempat yang terpuji.”

(QS. Al Isra’: 78-79).

Ayat tersebut  berisi perintah Allah kepada hamba-Nya untuk menunaikan shalat. Perintah shalat ini dijelaskan pada ayat yang beraneka ragam. Perintah dalam Al Qur’an dijelaskan dengan kalimat ‘iqamah shalat’ seperti dalam ayat yang kita kaji. Kalimat tersebut lebih bagus penyebutannya dibandingkan dengan ‘if’aluhaa’ yang bermakna ‘kerjakanlah’.

Perintah ‘iqamah shalat’ yang berarti menegakkan shalat bermakna perintah untuk mengerjakan shalat dengan tumakninah, tidak terburu-buru,  melengkapi rukun, syarat dan penyempurananya secara lahir dan batin. Shalat inilah yang dijadikan syariat lahiriyah yang nampak dan merupakan syiar Islam yang terbesar.

0 comments:

Posting Komentar