300x250 AD TOP

Jumat, 01 Juni 2018

Tagged under: ,

Jangan Berpaling Dari Al-Quran

Bulan Ramadhan sering juga dikatakan sebagai Bulan al-Quran (syahr al-Qur’an). Empat belas abad silam, pada bulan Ramadhan, kitab suci al-Quran diturunkan pada Malam al-Qadar. Pada bulan Ramadhan pula, salah satu amal yang dianjurkan untuk dilakukan adalah tilawah al-Quran. Salah satu keutamaan tilawah al-Quran disabdkan oleh Nabi saw. saw.:
اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِي شَافِعًا لأَصْحَابِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Bacalah oleh kalian al-Quran, sungguh al-Quran itu akan datang pada Hari Kiamat menjadi syafaat bagi pembacanya (HR Muslim).

Fitnah Terhadap al-Quran
Kaum Orientalis sering menyerang kesucian al-Quran. Mereka melontarkan dua tudingan. Pertama, meragukan kesucian al-Quran sebagai kalamullah. Mereka menuduh al-Quran sekadar rekayasa perkataan bangsa Arab, termasuk Muhammad saw. Kedua, menyangsikan kelayakan al-Quran sebagai petunjuk dan aturan hidup yang kompatibel (cocok) dengan zaman.
Tudingan pertama telah dibantah oleh al-Quran sendiri. Di dalam al-Quran terdapat sejumlah ayat yang menantang umat manusia—bangsa Arab maupun ‘ajam (non Arab)—untuk membuat yang serupa dengan al-Quran. Tantangan ini tidak saja berlaku ketika al-Quran turun, tetapi juga hingga Hari Kiamat (Lihat: QS al-Baqarah [2]: 23). Namun demikian, bangsa Arab kala itu tidak sanggup menjawab tantangan Allah SWT ini. Padahal saat ayat ini turun bangsa Arab berada dalam puncak kemahiran bahasa dan karya sastranya.
Al-Quran juga bukan karangan Rasulullah saw. sebagaimana tudingan sebagian kaum orientalis dan para pengikutnya. Pasalnya, gaya bahasa al-Quran memiliki kekhasan yang sama sekali berbeda dengan gaya bahasa Nabi saw. Bangsa Arab di Makkah pun semuanya tahu bahwa Rasulullah saw. bukanlah orang yang punya kemampuan menyusun syair.
Lebih dari itu Allah SWT menegaskan:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلَافًا كَثِيرًا
Tidakkah mereka merenungkan al-Quran? Andai al-Quran itu bukan berasal dari sisi Allah, tentu mereka akan menemukan di dalamnya pertentangan yang banyak (TQS an-Nisa’ [4]: 82).
Lalu terkait tudingan  kedua, kaum orientalis dan pengikutnya menuding bahwa hukum-hukum yang terkandung dalam al-Quran hanya berisi muatan lokal, bersifat temporal daan kondisional. Contohnya adalah hukum-hukum tentang pembagian waris, poligami, jihad, potong tangan, qishash, jilbab, dll.
Sayang, tudingan ini kemudian diamini oleh sebagian umat Muslim, khususnya murid-murid kaum orientalis. Mereka kemudian menggunakan sejumlah kaidah untuk membenarkan teori guru-guru mereka semisal kaidah, “Lâ yunkaru taghayyur al-ahkâm bi thaghayyur al-makân wa az-zamân (Tidak diingkari perubahan hukum karena perubahan tempat dan zaman)”, “Al-‘Adat muhakkamah (Adat adalah hukum)”, atau “Al-Umûru bi maqâshidihâ (Setiap perkara bergantung pada tujuannya)”, dll. Dengan kaidah-kaidah itu lalu mereka dengan semena-mena mengubah hukum-hukum al-Quran. Mereka, misalnya, menyatakan jilbab adalah budaya/adat bangsa Arab sehingga tidak cocok di luar Arab; hukum waris yang menyebutkan wanita hanya mendapat separuh bagian harus diubah karena tak sesuai dengan kondisi kekinian saat banyak perempuan sudah bekerja; bunga pinjaman bukanlah riba asalkan diniatkan sebagai tanda terima kasih dan nilainya tidak berlipat-lipat; dll. Mereka pun menolak Islam sebagai agama yang menata kehidupan sosial, masyarakat politik dan kenegaraan. Mereka beralasan, sistem demokrasi sudah mencakup nilai-nilai keislaman sehingga tak perlu syariah Islam itu diformalisasikan. Bahkan di antara mereka ada yang menghalalkan perempuan dan orang kafir menjadi pemimpin negara.
Sungguh interpretasi-interpretasi kacau semacam itu bertentangan dengan nash-nash al-Quran dan makna-maknanya. Al-Quran memang datang dalam garis-garis besar. Para ulama bertugas merinci berbagai persoalan-persoalan cabang dari kandungan ayat-ayat al-Quran setiap kali datang persoalan baru. Inilah yang dinamakan ijtihad. Namun demikian, ijtihad ini harus sesuai tuntunan syariah, yakni tidak menjadikan maslahat atau manfaat sebagai penentu hukum. Artinya, umat harus tetap menjadikan ayat-ayat al-Quran sebagai ‘hakim’ atas beragam persoalan, bukan sebaliknya; menjadikan persoalan sebagai ‘hakim’ lalu mengubah kandungan ayat al-Quran. Misalnya saat umat menghadapi sistem ekonomi kapitalis ribawi, maka umat harus berusaha menghilangkan akad-akad muamalah ribawi, bukan mencari dalil untuk membenarkan praktik ekonomi ribawi dengan menakwilkan ayat-ayat al-Quran sesuka hati. Ketika hari ini miras dan perzinaan merajalela, umat wajib berusaha menghilangkan keduanya—karena hukumnya adalah haram—bukan malah merekayasa penjualan miras dengan batasan umur dan tempat khusus, juga melokalisasi pelacuran. Saat al-Quran mengharamkan umat memilih pemimpin kafir maka harus dicari dan dipilih pemimpin Muslim yang amanah dan punya skill leadership, bukan malah memfatwakan boleh memilih orang kafir sebagai pemimpin asalkan bertanggung jawab.
Andaikan adat setempat boleh membatalkan hukum al-Quran atau al-Quran bisa ditafsirkan sesuai kondisi, niscaya Rasulullah saw.  tidak akan mengharamkan khamr, perjudian, perzinaan, riba dan berbagai budaya masyarakat jahiliah pada masa itu. Faktanya, Rasulullah saw. justru mengubah berbagai budaya jahiliah tersebut dengan hukum-hukum yang dibawa dalam al-Quran. Hal ini diteruskan oleh Khulafaur Rasyidin dan para khalifah setelah mereka. Mereka tidak pernah berkompromi dalam mengamalkan hukum-hukum yang terkandung dalam al-Quran. Pada saat turun ayat al-Quran yang mengharamkan menikah dengan wanita musyrik, misalnya, para sahabat menceraikan istri-istri mereka yang tak mau diajak beriman. Bahkan Umar bin Khaththab ra. menceraikan dua orang istrinya sekaligus.
Perilaku menakwilkan ayat al-Quran sesukanya telah diingatkan dengan keras oleh Allah SWT (Lihat: QS an-Nahl [16]: 116). Rasulullah saw. pun telah mengingatkan dengan keras siapa saja yang menafsirkan al-Quran dengan akal (tanpa ilmu):
مَنْ قَالَ فِي الْقُرْآنِ بِغَيْرِ عِلْمٍ، فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Siapa saja yang berkata tentang al-Quran tanpa ilmu maka siapkanlah tempat duduknya di neraka (HR Ibnu Jarir, at-Tirmidzi dan an-Nasa’i).
Dalam riwayat lain dinyatakan:
مَنْ قَالَ فِى الْقُرْآنِ بِرَأْيِهِ فَأَصَابَ فَقَدْ أَخْطَأَ
Siapa saja yang berkata tentang al-Quran sebatas dengan akalnya, lalu kebetulan benar, maka ia tetap salah (HR at-Tirmidzi).
Jangan Berpaling dari al-Quran
Berdasarkan paparan singkat di atas, tentu sikap seorang Muslim yang mengimani al-Quran adalah menerima al-Quran seutuhnya; mengimani seluruh surat, seluruh ayat dan seluruh isinya. Ia tak akan berpaling dari Kitabullah yang agung ini, sebagian apalagi seluruhnya. Mengingkari sebagian isi al-Quran sama saja dengan mengingkari seluruh kandungan al-Quran. Mengingkari satu ayat al-Quran saja telah cukup menjerumuskan seseorang dalam kekafiran (Lihat: QS an-Nisa’ [4]: 150-151). Jangankan mengingkari al-Quran, meragukan kebenarannya saja sudah diancam akan dimasukkan neraka dan mendapatkan azab (QS Hud [11]: 17; al-Hajj [22]: 55). Siapa saja yang berpaling dari al-Quran akan memikul dosa besar pada Hari Kiamat dan kekal memikul beban yang amat buruk tersebut (QS Thaha [20]: 100-101).
Sayang, saat ini, akibat dahsyatnya gempuran pemikiran Barat dan kebodohan umat dalam titik terendah, tidak sedikit yang bersikap ‘diskriminatif’ terhadap al-Quran. Mereka bisa menerima tanpa reserve hukum-hukum ibadah atau akhlak. Anehnya, mereka tetap menolak hukum-hukum al-Quran tentang kekuasaan, pemerintahan, ekonomi, pidana, atau hubungan internasional.
Contoh, terhadap ayat-ayat al-Quran yang sama-sama menggunakan kata kutiba yang bermakna furidha (diwajibkan atau difardhukan) sikap yang muncul berbeda. Ayat Kutiba ‘alaykum al-shiyâm (diwajibkan atas kalian berpuasa) dalam QS al-Baqarah [2] ayat 183 diterima dan dilaksanakan. Sebaliknya, terhadap ayat Kutiba ‘alaykum al-qishâsh (diwajibkan atas kalian hukum qishash) dalam QS al-Baqarah [2] ayat 178, atau Kutiba ‘alaykum al-qitâl (diwajibkan atas kalian berperang) dalam QS al-Baqarah [2] ayat 216, muncul sikap keberatan, penolakan bahkan penentangan dengan beragam dalih; apalagi ketika diserukan untuk diterapkan secara praktis. Sikap ‘diskriminatif’ ini berujung pada pengabaian sebagian ayat al-Quran.
Penerapan al-Quran Membutuhkan Negara
Al-Quran berisi sistem kehidupan yang wajib diterapkan secara kâffah. Di dalamnya terdapat hukum yang mengatur seluruh segi dan dimensi kehidupan (QS an-Nahl [16]: 89). Hanya saja, ada sebagian hukum itu yang hanya bisa dilakukan oleh negara semisal hukum-hukum yang berkaitan dengan pemerintahan dan kekuasaan, ekonomi, sosial, pendidikan, dan politik luar negeri; termasuk pula hukum-hukum yang mengatur pemberian sanksi terhadap pelaku pelanggaran hukum syariah. Hukum-hukum seperti itu tidak boleh dikerjakan oleh individu dan hanya sah dilakukan oleh khalifah atau yang diberi wewenang oleh khalifah.
Berdasarkan fakta ini, keberadaan negara merupakan sesuatu yang dharûrî (sangat penting). Tanpa ada sebuah negara, mustahil semua ayat al-Quran dapat diterapkan. Tanpa Khilafah Islamiyah, banyak sekali ayat al-Quran yang terabaikan. Padahal menelantarkan ayat al-Quran—walaupun sebagian—termasuk tindakan mengabaikan al-Quran yang diharamkan. []
—***—
Hikmah:
Allah SWT berfirman:
وَإِذَا تُتْلَى عَلَيْهِ آيَاتُنَا وَلَّى مُسْتَكْبِرًا كَأَنْ لَمْ يَسْمَعْهَا كَأَنَّ فِي أُذُنَيْهِ وَقْرًا فَبَشِّرْهُ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ
Jika dibacakan kepada dia ayat-ayat Kami, dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia belum mendengarnya; seakan-akan ada sumbat di kedua telinganya. Karena itulah beri dia kabar gembira dengan azab yang pedih (TQS Luqman [31]: 7).
***
Sumber:
Buletin Kaffah No. 043 (16 Ramadhan 1439 H - 1 Juni 2018 M)

0 comments:

Posting Komentar