300x250 AD TOP

Selasa, 20 Agustus 2019

Tagged under:

Doa Haji Mabrur

ONE DAY ONE DOA
Selasa, 20 AGUSTUS 2019 M / 18  Dzulhijjah 1440 H

Oleh : Dr. Ajang Kusmana
(Tinggal di Kabupaten Malang Jawa Timur)
اللهم اجعله حجًّا مبرورًأ، سعيًا مشكورًا، وذَنْبًا مغفورًا،
Allahummaj’alahu hajjan mabruura, wa sa’yan masykuura, wa dzanban maghfuura.
Doa ini bersumber dari Ibn Mas’ud dan Ibn ‘Umar, Ya Allah jadikan haji ini sebagai haji yang mabrur, sa’i yang penuh berkah, dan pengampun bagi dosa.
(HR. Bukhari)
Setiap orang yang berhaji berharap haji yang mabrur. Haji abrur bukanlah sekedar haji yang sah.  Mabrur berarti diterima oleh Allah Subhanahu wata’ala, dan sah berarti menggugurkan kewajiban. Bisa jadi haji seseorang sah sehingga kewajiban berhaji baginya telah gugur, namun belum tentu hajinya mabrur.  Jadi, tidak semua yang hajinya sah terhitung sebagai haji mabrur.  seseorang yang telah selesai melaksanakan seluruh amaliah (baik rukun, wajib, maupun sunnah berhaji) dianjurkan untuk memohon agar hajinya menjadi haji yang mabrur.
Haji Mabrur adalah haji yang diterima oleh Allah Swt. Tanda diterimanya ibadah haji seorang muslim adalah setelah pulang semakin banyak melakukan amalan-amalan yang baik dan semakin jauh dari perbuatan-perubatan maksiat.  Tanda haji mabrur adalah seseorang kembali dari haji dalam keadaan zuhud dalam hal dunia dan semangat menggapai akhirat.
Balasan dari haji mabrur adalah surga. Untuk haji mabrur secara khusus, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
والْحَجُّ الْمَبْرُورُ لَيْسَ لَهُ جَزَاءٌ إِلاَّ الْجَنَّةُ
“Haji yang mabrur tidak lain pahalanya adalah surga.”
HR. al-Bukhari (1683) dan Muslim (1349).

Redaksi lengkapnya hadits tersebut adalah:

عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: العمرةُ إلى العمرةِ كفَّارَةٌ لمَا بينَهمَا ، والحجُّ المبرورُ ليسَ لهُ جزاءٌ إلا الجنَّةُ

Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Ibadah umrah ke ibadah umrah berikutnya adalah penggugur (dosa) di antara keduanya, dan haji yang mabrur tiada balasan (bagi pelakunya) melainkan surga”.
Imam al-Bukhari telah mengeluarkan hadits ini (di dalam Shahih-nya) pada Abwabul Umrah (bab-bab tentang umrah), yaitu pada Babu Wujubil Umrah wa Fadhliha (bab tentang wajibnya umrah dan keutamaannya), nomor 1773. Dan dikeluarkan pula oleh Imam Muslim (di dalam Shahih-nya pula), nomor 1349; dari jalan Sumayy budak Abi Bakar bin Abdurrahman, dari Abu Shalih as-Samman, dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, secara marfu’ (sampai kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam).
Haji mabrur secara syariat adalah haji yang tidak tercampur dengan perrbuatan riya’ (ingin dipuji dan dilihat orang), sum’ah (ingin didengar oleh orang), rafats (berkata-kata keji dan kotor, atau kata-kata yang menimbulkan birahi), fusuq (berbuat kefasikan dan kemaksiatan), dan dilaksanakan dari harta yang halal. Haji mabrur memiliki lima sifat:
1. Dilakukan dengan ikhlash (memurnikan niat dalam melaksanakan hajinya) hanya karena Allah Ta’ala semata, tanpa riya’ dan sum’ah.
2. Biaya pelaksanaan haji tersebut berasal dari harta yang halal. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda:
إنَّ اللهَ طيِّبٌ ولا يقبلُ إلا طيبًا
“Sesungguhnya Allah Maha Baik, dan Ia tidak menerima kecuali hal yang baik…”. (HR Muslim, 1015).
3. Menjauhi segala dosa dan perbuatan maksiat, segala macam perbuatan bid’ah dan semua hal yang menyelisihi syariat. Karena, jika hal tersebut berdampak negatif terhadap semua amal shalih dan bahkan dapat menghalangi dari diterimanya amal tersebut, maka hal itu lebih berdampak negatif lagi terhadap ibadah haji dan keabsahannya. Hal ini berdasarkan beberapa dalil, di antaranya firman Allah Ta’ala:
الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji…” (QS al-Baqarah: 197).
4. Dilakukan dengan penuh akhlak yang mulia dan kelemah-lembutan, serta dengan sikap tawadhu’ (rendah hati) ketika ia berkendaraan, bersinggah sementara pada suatu tempat dan dalam bergaul bersama yang lainnya, dan bahkan dalam segala keadaannya.
5. Dilakukan dengan penuh pengagungan terhadap sya’a-irullah (syi’ar-syi’ar Allah). Dengan demikian, ia benar-benar dapat merasakan dan meresapi syi’ar-syi’ar Allah dalam ibadah hajinya. Sehingga, akan tumbuh dari dirinya sikap pengagungan, pemuliaan dan tunduk patuh kepada Allah Rabbul ‘Alamin. Dan tanda seseorang benar-benar telah melaksanakan hal tersebut adalah; ia melaksanakan tahapan demi tahapan rangkaian ibadah hajinya dengan tenang dan khidmat, tanpa ketergesa-gesa.
Memperbanyak dzikir, bertakbir, bertasbih, bertahmid dan istighfar adalah bentuk menghidupkan syi’ar Allah, terlebih lagi pasca haji. Dan sungguh Allah pun telah memerintahkan para hamba-Nya untuk mengagungkan, memuliakan dan menjaga kehormatan sya’a-irullah (syi’ar-syi’ar Allah). Allah berfirman:
ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ حُرُمَاتِ اللَّهِ فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ عِنْدَ رَبِّهِ وَأُحِلَّتْ لَكُمُ الْأَنْعَامُ إِلَّا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الْأَوْثَانِ وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan apa-apa yang terhormat di sisi Allah maka itu adalah lebih baik baginya di sisi Tuhannya…” (QS al-Hajj: 30).
Dan Allah juga berfirman:
ذَلِكَ وَمَنْ يُعَظِّمْ شَعَائِرَ اللَّهِ فَإِنَّهَا مِنْ تَقْوَى الْقُلُوبِ
“Demikianlah (perintah Allah). Dan barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari ketakwaan hati” (QS al Hajj: 32).
Adapun sya’a-irullah (syi’ar-syi’ar Allah), maka maksudnya adalah lambang-lambang agama yang tampak jelas, yang di antaranya juga manasik (tata cara ibadah haji) ini. Sebagaimana firman-Nya:
إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ
“Sesungguhnya Shafaa dan Marwah adalah sebagian dari syi’ar-syi’ar Allah…” (QS al-Baqarah: 158).
Dan sungguh Allah Ta’ala telah menjadikan pengagungan terhadap syi’ar-syi’ar-Nya sebagai salah satu rukun dari rukun-rukun ketakawaan, dan bentuk penghambaan kepada-Nya. Syiar pasca haji yang membekas adalah memburu shalat jamaah dimasjid sebagaimana memburu shalat arbain ketika haji, dzikir bakdza shalat sebagaimana ketika wukuf, memburu taklim dan istiqamah menghadirinya, menebar banyak kemanfaatan dan peduli, seperti inilah hakekat dari haji mabrur yang bila istiqamah menjaga dan merawatnya akan melebihi pahala jihad sekalipun.  Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
سُئِلَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – أَىُّ الأَعْمَالِ أَفْضَلُ قَالَ « إِيمَانٌ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ » . قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ « جِهَادٌ فِى سَبِيلِ اللَّهِ » . قِيلَ ثُمَّ مَاذَا قَالَ « حَجٌّ مَبْرُورٌ »
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya, “Amalan apa yang paling afdhol?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Beriman kepada Allah dan Rasul-Nya.” Ada yang bertanya lagi, “Kemudian apa lagi?” Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Jihad di jalan Allah.” Ada yang bertanya kembali, “Kemudian apa lagi?” “Haji mabrur”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
(HR. Bukhari no. 1519)
Dari ‘Aisyah—ummul Mukminin—radhiyallahu ‘anha,
يَا رَسُولَ اللَّهِ ، نَرَى الْجِهَادَ أَفْضَلَ الْعَمَلِ ، أَفَلاَ نُجَاهِدُ قَالَ « لاَ ، لَكِنَّ أَفْضَلَ الْجِهَادِ حَجٌّ مَبْرُورٌ »
“Wahai Rasulullah, kami memandang bahwa jihad adalah amalan yang paling afdhol. Apakah berarti kami harus berjihad?” “Tidak. Jihad yang paling utama (afdhol) adalah haji mabrur”, jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.”
(HR. Bukhari no. 1520)
Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa ia mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ حَجَّ لِلَّهِ فَلَمْ يَرْفُثْ وَلَمْ يَفْسُقْ رَجَعَ كَيَوْمِ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
““Siapa yang berhaji ke Ka’bah lalu tidak berkata-kata seronok dan tidak berbuat kefasikan maka dia pulang ke negerinya sebagaimana ketika dilahirkan oleh ibunya.”
(HR. Bukhari no. 1521).

0 comments:

Posting Komentar