300x250 AD TOP

Senin, 13 April 2020

Tagged under:

Duka Dalam PSBB

Oleh: Titi Hutami

Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sudah diberlakukan. Setiap orang harus tetap di rumah. Pekerjaan yang tidak sesuai dengan ketentuan harus dihentikan. Semua ini demi menghindari semakin memperparah pertambahan jumlah penderita covid-19. 

Sayangnya, ada banyak orang yang menjadi korban dalam program PSBB ini. Pasalnya, pendapatan mereka hilang, imbas dari kesempatan bekerjanya ditiadakan. Bahkan, tidak sedikit karyawan di kota-kota besar tertimpa kesedihan mendalam karena mengalami PHK (Pemutusan Hubungan Kerja).

Kemana mereka harus mengadu?
Idealnya pemerintah yang bertanggung jawab memenuhi kebutuhan rakyatnya. Ini sudah diatur Undang-undang tahun 2018 tentang karantina wilayah akibat pandemik, yang ditanda tangani oleh presiden Jokowi sendiri. Namun, keputusan PSBB yang lebih diambil pemerintah, bukan karantina. Terkesan pemerintah menghindari tanggung jawab memberi makan rakyatnya. Sebegitu miskinkah negeri ini, hingga didapati rakyatnya menangis karena tak ada penghasilan.

Atau pemerintah berlepas diri dari tanggung jawabnya karena tidak ada ruh/spirit keimanan, bahwa Allah akan membalas semua pengabaian tanggung jawab yang ada di pundaknya. 

Sudah terlanjur negeri ini bersandar pada tatanan hidup kapitalisme. Semua tindakan pemerintah harus bernilai profit, bukan sosial. Rakyat tugasnya memberi pajak, bukan membebani negara.

Dengan orientasi negara yang bertumpu pada keuntungan materi, apakah negara-negara kapitalisme di dunia ini menjadi makmur kaya raya? Jawabannya tidak. Negara-negara kapitalisme saat ini justru terpuruk ekonominya, terlilit utang, dan menyengsarakan rakyat. Satu sisi, para kapitalis berlimpah kekayaan dan hidup dengan pemborosan. Sisi yang lain, masyarakat dunia masih banyak yang hidup dalam kelaparan, tempat tinggal dari kardus atau tenda-tenda pengungsian yang tidak layak.

Jadi, sudah selayaknya kapitalisme di dunia ini dienyahkan, diganti dengan sistem yang mengayomi rakyat seluruh dunia, bukan per-kapita tapi per-individu. Sistem pengayom ini hanya ada pada Islam, yakni sistem khilafah.

Dalam sistem khilafah, seseorang dipilih menjadi pemimpin (khalifah) untuk mengatur urusan rakyatnya, bukan sekedar untuk kekuasaan. Kebutuhan dan ketentraman rakyat menjadi ujung tombak utama sebelum meraih kemajuan ekonomi, politik dalam dan luar negeri, sosial, budaya, teknologi, pertahanan dan keamanan.

Sistem khilafah menghilangkan penumpukan kekayaan pada orang tertentu saja. Karena kekayaan tambang tidak akan masuk ke kantong-kantong pribadi. Kekayaan tambang milik rakyat.

Dengan sistem khilafah, tidak ada lagi manusia di muka bumi ini yang kelaparan. Tidak ada lagi manusia dengan rumah yang tidak layak. Siapapun penduduk bumi diperbolehkan mendatangi khalifah untuk meminta penghidupan yang layak.

Sejarah mencatat khalifah Umar bin Abdul Aziz, yang hanya memimpin dua tahun, mampu menjadikan rakyatnya berkecukupan, hingga tidak ada yang masuk kategori penerima zakat. Demikian juga khalifah Harun Ar-Rasyid berhasil menjadikan rakyatnya makmur, sehingga kesulitan mencari penerima zakat.

Khalifah tidak segan-segan memberikan biaya hidup keluarga dari pasien di rumah sakit yang karena sakit tidak mampu menafkahi keluarganya. Apalagi hanya karena wabah, khalifah tentu bertanggung jawab penuh seluruh kebutuhan rakyatnya.

Dunia saat ini sangat membutuhkan khilafah Islam. Khilafah akan menata dunia dalam tatanan yang mengangkat harkat derajat manusia dalam taraf mulia.

Semoga adanya wabah virus corona di seluruh dunia saat ini membuka kesadaran manusia untuk kembali pada fitrahnya, yakni berhukum dengan hukum Allah SWT untuk semua urusan kehidupan. Kesadaran ini akan menghantarkan khilafah tegak, untuk kebaikan umat manusia di dunia.

0 comments:

Posting Komentar