300x250 AD TOP

Jumat, 03 Desember 2021

Tagged under: ,

Aksi Bela Islam Wajib Terus Dilanjutkan

Buletin Kaffah No. 221 (27 Rabiul Akhir 1443 H/03 Desember 2021 M)

Aksi 212 atau Aksi Bela Islam telah menjadi sejarah besar bagi umat Islam negeri ini. Aksi tersebut, yang beberapa kali diselenggarakan, pernah diikuti oleh sekitar 7 juta orang Muslim dari beragam latar belakang. Bahkan aksi itu dihadiri juga oleh sebagian non-Muslim. Aksi 212 atau Aksi Bela Islam tersebut terbukti telah menunjukkan bahwa umat Islam dapat bersatu, sekaligus masih memiliki vitalitas yang luar biasa untuk membela agamanya.

Wajib Dilanjutkan

Pembelaan terhadap Islam wajib terus dilanjutkan. Tidak boleh kendor. Pembelaan itu tidak boleh dibatasi oleh waktu dan momen, seperti aksi, atau sekadar reuni. Harus dilakukan secara terus-menerus berkelanjutan sepanjang waktu. Sebagaimana yang dinyatakan oleh al-Quran, para pembenci Islam akan terus-menerus melakukan permusuhan terhadap Allah SWT, Rasul-Nya dan al-Quran. Tentu dengan berbagai cara. Kaum kafir dan kaki tangan mereka akan terus berusaha tiada henti memerangi Islam dan kaum Muslim. Mereka baru puas jika kaum Muslim telah berbalik arah: kembali pada kekafiran. Mereka akan merasa puas jika kaum Muslim telah meninggalkan Islam, lalu berbalik memusuhi Islam dan kaum Muslim. Allah SWT berfirman:

وَلَا يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّى يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا

Mereka (kaum kafir) akan terus-menerus memerangi kalian hingga mereka berhasil mengembalikan kalian dari agama kalian jika saja mereka mampu (TQS al-Baqarah [2]: 217).

Karena itulah pembelaan kepada Allah SWT, Rasul-Nya dan al-Quran juga harus terus-menerus kita lakukan.

Memang benar Islam adalah mulia. Kemuliaan Islam tak akan berkurang karena dinistakan dan dimusuhi oleh manusia. Ini adalah ranah akidah/keyakinan/keimanan. Namun, membela dan menjaga kemuliaan Islam adalah ranah amal kita sebagai Muslim. Tentu keliru jika keyakinan akan kemuliaan Islam malah menghalangi kita untuk menjaga dan membela kemuliaan Islam. 

Allah SWT tegas memerintahkan kita untuk menjadi para penolong (agama)-Nya:

ياَأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا كُوْنُوْا أَنْصَارَ اللهِ

Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian para penolong (agama) Allah (TQS as-Shaff [61]: 14).

Imam Ibnu Katsir menjelaskan makna ayat tersebut, yakni Allah SWT memerintahkan hamba-hamba-Nya yang Mukmin agar menjadi penolong Allah dalam seluruh keadaan mereka dengan ucapan, perbuatan, jiwa dan harta mereka.

Perintah agar menjadi penolong Allah itu, menurut Imam as-Samarqandi (w. 373 H) di dalam Bahru al-‘Ulûm, bermakna: tolonglah Allah, tolonglah agama-Nya dan tolonglah Muhammad saw. 

Menurut Imam an-Nawawi al-Bantani (w. 1316 H) di dalam tafsirnya, Marâh Labîd: Jadilah penolong Allah bermakna jadilah penolong agama-Nya. 

Menurut Imam Abdul Karim al-Qusyairi (w. 465 H) di dalam Lathâ`if al-Isyârât (Tafsîr al-Qusyairiy), ayat di atas bermakna: jadilah penolong agama-Nya dan Rasul-Nya.

Menurut Imam Fakhruddin ar-Razi (w. 606 H) di dalam Mafâtîh al-Ghayb, frasa jadilah penolong Allah merupakan perintah untuk melanggengkan pertolongan dan teguh di atasnya.

Allah SWT juga memerintahkan kaum Mukmin untuk membela Rasulullah saw.:

إِنَّا أَرْسَلْنَاكَ شَاهِدًا وَمُبَشِّرًا وَنَذِيرًا. لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُعَزِّرُوهُ وَتُوَقِّرُوهُ

Sungguh Kami telah mengutus kamu sebagai saksi, pembawa berita gembira dan pemberi peringatan, supaya kalian mengimani Allah dan Rasul-Nya, sekaligus mendukung dan memuliakan dia (TQS al-Fath [48]: 8-9).

Apalagi membela dan menolong agama Allah adalah “wasilah” agar kita mendapatkan pertolongan-Nya. Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنْ تَنْصُرُوا اللَّهَ يَنْصُرْكُمْ وَيُثَبِّتْ أَقْدَامَكُمْ

Hai orang-orang beriman, jika kalian menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolong kalian dan mengokohkan kedudukan kalian (TQS Muhammad [47]: 7).

Imam ar-Razi menjelaskan, frasa “in tanshurulLah (jika kalian menolong Allah)” dalam ayat di atas bermakna: menolong agama-Nya, memperjuangkan tegaknya syariah-Nya dan membantu para pejuang yang memperjuangkan agama-Nya. 

Imam as-Sa’di di dalam Tafsîr as_Sa’di (Taysîr ar-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-Mannân) menjelaskan makna ayat di atas: “Ini merupakan perintah dari Allah kepada kaum Mukmin agar membela Allah dengan menjalankan agamanya, mendakwahkannya dan berjihad melawan musuhnya. Semua itu bertujuan untuk mengharap ridha Allah. Jika mereka melakukan semua itu, Allah akan menolong mereka dan mengokohkan kedudukan mereka.”

Dengan demikian kita wajib terus menolong Allah, al-Quran dan Rasul-Nya. Kita wajib terus menolong agama yang mulia ini. Hanya dengan membela agama-Nya, membela kalam-Nya (al-Quran), membela Rasul-Nya, memperjuangkan syariah-Nya serta membantu para pejuang yang memperjuangkan agama-Nya, maka Allah akan menolong kita.

Menggenapkan Pembelaan

Pembelaan terhadap al-Quran telah nyata dapat melahirkan aksi umat yang fenomenal dan bersejarah. Aksi itu menunjukkan bahwa kaum Muslim sesungguhnya bisa bersatu dan bergerak membela kitab sucinya. Saat satu ayat saja, QS al-Maidah ayat 51 dinistakan, umat paham bahwa yang dinistakan adalah al-Quran yang mereka imani, yang tidak pernah mereka ragukan kebenarannya sedikitpun. Lalu dengan kesadaran dan keyakinan itu, mereka bergerak membela al-Quran.

Namun, perlu disadari, di balik penistaan satu ayat al-Quran itu sesungguhnya masih ada sebab mendasar yang melahirkan aneka bentuk penelantaran dan pencampakan al-Quran. Sebab mendasarnya adalah karena negeri ini memang sekuler, yakni menjauhkan agama (Islam) dari kehidupan. Karena menerapkan sekularisme, negeri ini dijauhkan dari al-Quran dan hukum-hukumnya; dijauhkan dari Islam dan syariahnya. Karena itu yang terjadi bukan hanya satu ayat yang ditelantarkan dan dicampakkan, tetapi sebagian besar ayat-ayat al-Quran ditelantarkan dan hukum-hukumnya tidak diterapkan dalam kehidupan. 
Inilah yang justru dikeluhkan oleh Rasulullah saw. Beliau bahkan mengadukan umatnya yang mencampakkan al-Quran kepada Allah SWT, sebagaimana firman-Nya: 

وَقَالَ الرَّسُوْلُ يَا رَبِّ إِنَّ قَوْمِي اتَّخَذُوْا هَذَا الْقُرْآنَ مَهْجُوْرًا

Berkatalah Rasul, “Tuhanku, sungguh kaumku telah menjadikan al-Quran ini sebagai sesuatu yang dicampakkan.” (TQS al-Furqan [25]: 30).

Banyak sikap dan perilaku yang oleh para mufasir dikategori hajr al-Qur’ân (mencampakkan al-Quran). Di antaranya, menurut Imam Ibnu Katsir (W. 774 H): menolak untuk mengimani dan membenarkan al-Quran; tidak men-tadaburi dan memahami al-Quran; tidak mengamalkan serta mematuhi perintah dan larangan al-Quran; berpaling dari al-Quran, kemudian berpaling pada selain al-Quran, di antaranya mengambil tharîqah (jalan hidup) dari selain al-Quran (Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, III/335).

Karena itu kesadaran akan pembelaan terhadap al-Quran harus digenapkan menjadi kesadaran untuk menghentikan penelantaran dan pencampakan al-Quran, sekaligus kesadaran untuk mengambil dan menerapkan al-Quran. Kesadaran akan pembelaan terhadap al-Quran semestinya juga mendorong umat Islam untuk dapat bersatu dan bergerak guna memperjuangkan seluruh isi al-Quran agar dapat diterapkan dalam kehidupan.

Allah SWT memerintahkan kita untuk mengembalikan segala perselisihan pada al-Quran dan as-Sunnah, yakni pada syariah-Nya.

فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ

Kemudian jika kalian berlainan pendapat tentang suatu perkara, kembalikanlah perkara itu kepada Allah (al-Quran) dan Rasul (as-Sunnah) jika kalian benar-benar mengimani Allah dan Hari Akhir (TQS an-Nisa’ [4]: 59).

Menurut Ibnu Katsir dalam kitab tafsirnya, firman Allah SWT (artinya): “...jika kalian mengimani Allah dan Hari Akhir” ini menunjukkan bahwa siapa saja yang tidak berhukum pada al-Quran dan as-Sunnah bukanlah orang yang mengimani Allah SWT dan Hari Akhir. 

Allah SWT juga menafikan (kesempurnaan) keimanan seseorang sampai dia menjadikan Rasul saw. sebagai hakim, yakni menjadikan hukum al-Quran dan as-Sunnah sebagai hukum untuk memutuskan segala perkara (QS an-Nisa’ [4]: 65). 

Imam Ibnu Abi al-Izz al-Hanafi dalam Syarh ‘Aqidah Thahawiyah (2/267) mengatakan, “Sungguh jika seseorang meyakini bahwa hukum yang Allah turunkan tidak wajib, boleh sekadar dijadikan pilihan, atau ia merendahkannya, padahal ia meyakini itu adalah hukum Allah, maka ini adalah kekufuran yang besar.”

Allah SWT telah memerintahkan agar manusia memutuskan segala perkara dengan hukum-hukum-Nya. 

وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ 

Hukumilah mereka berdasarkan wahyu yang telah Allah turunkan (kepada kamu) dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka (TQS al-Maidah [5]: 49). 

Menurut Imam al-Khazin (w. 741 H), dalam ayat ini Allah SWT memerintahkan Rasulullah saw. untuk memberlakukan di tengah-tengah manusia hukum yang telah Allah SWT turunkan dalam Kitab-nya (al-Quran) (Al-Khazin, Lubâb at-Ta’wîl fî Ma’âni at-Tanzîl). 

Perintah ini secara umum juga merupakan perintah kepada seluruh umat Islam. Secara khusus, Allah SWT memerintahkan penguasa untuk memutuskan segala perkara dengan hukum-hukum-Nya. Allah SWT pun mensifati penguasa yang tidak memutuskan perkara dengan hukum-Nya sebagai orang zalim (QS al-Maidah [5]: 45), fasik (QS al-Maidah [5]: 47) bahkan bisa kafir (QS al-Maidah [5]: 44). 

Alhasil, kesadaran sekaligus aksi umat untuk membela al-Quran harus terus dilanjutkan. Kesadaran dan aksi bela al-Quran itu harus digenapkan dengan memperjuangkan agar al-Quran dan seluruh hukum-hukumnya diterapkan di tengah kehidupan. WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []

---*---

Hikmah:

Allah SWT berfirman:

وَمَنْ أَعْرَضَ عَنْ ذِكْرِي فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا وَنَحْشُرُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَعْمَى

Siapa saja yang berpaling dari peringatan-Ku (al-Quran), maka bagi dirinya kehidupan yang sempit dan dia akan dibangkitkan pada Hari Kiamat dalam keadaan buta. (TQS Thaha [20]: 124). []

---*---

Download file PDF versi mobile:
http://bit.ly/kaffah221m

Download file PDF versi cetak:
http://bit.ly/kaffah221

0 comments:

Posting Komentar